“Gak daftar, takut lulus”
Begitulah tanggapan saya ketika teman-teman semangat apply untuk calon dosen
disebuah PTN di Aceh. Antara becanda dan serius. Becanda karena
dari awal saya gak punya minat seperti yang lain untuk jadi akademisi, jadi ya g akan apply. Pengalaman
mengajar juga belum punya. Serius juga, karena kalau beneran lulus, saya harus
gimana dengan kerjaan yang sekarang, tanggup jawab disini belum selesai.
Last minute sebelum ditutupnya
jadwal pendaftaran, saya submit aplikasi dengan segala macam kekurangan. Masih
ogah-ogahan sebenarnya, tapi teman-teman bilang, “ hayuklah ikut, setidaknya
kita testnya bareng dan punya pengalaman test dosen itu kayak gimana”.
Kekurangannya? Ijazah yang gak
dilegalisir dan belum ada penyetaraan dari dikti, CV yang masih english version
alias gak ada waktu buat ditranslate lagi, pasphoto yang diphoto pake hape
beberapa jam sebelumnya dan diedit ala kadarnya sama abang. Kondisi aplikasi yang kalau diingat-ingat gak layak unuk diluluskan. Pas submit pun saya langsung
ditanyain, ngapain di Bosnia?, " ngutip
peluru pak “ , jawab saya santai
Dua hari kemudian seleksi
berkasnya selesai, nama-nama yang masuk test berikutnya diumumkan. Guess what?
Lulus dan besoknya ikut test lagi.
Bingung lah saya semalaman. Mau belajar tapi gak tau apa, persiapkan
pertanyaan-pertanyaan untuk interview juga gak tau kira-kira mau ditanyain apa.
Bahkan dari sore saya udah tepar, demam tinggi. Ah, dapatlah satu alasan buat
saya gak ikutan test itu. Sakit.
*berhubung kerja yang sebenarnya
versi ibu saya adalah pns / dosen, jadi agak susah untuk nyari alasan gak
ikutan test yang satu ini. Sakit, bisa jadi alasan yang sangat kuat :D
“Mir, jangan lupa testnya ya,
ingat-ingat pertanyaan nya juga. Wawancaranya juga. Jadi next time kita ikutan
test, udah tau kayak gimana bentuknya” – sms dari seorang teman. Yaahhh!
Dengan kondisi yang benar-benar
gak enakan, saya berangkat ke lokasi ujian yang sejauh mata memandang gak ada
yang saya kenal. Diantara teman-teman sekantor, cuma 2 orang yang lulus seleksi
awal, tapi ujiannya di ruangan terpisah pula. Sebagian besar peserta bisa
dikatakan alumni dari kampus itu, sebagan lagi bahkan sudah terdaftar sebagai
staf pengajar kontrak disana. Wuih.
Test tulis terbagi ke dalam 2
sessi, masing-masing 2 jam dan diselingi waktu istirahat 15 menit. Testnya kayak gimana?
Wawasan kebangsaan yang penuh
dengan pasal-pasal dan pengetahuan kebangsaan lainnya. Rada nyesal hafalan P4 jaman smp dulu udah dilupain dari
kapan tau
Semacam psikotes. Menarik, Sakit
kepala tapinya setelah itu
Test kepribadian. Dari 5 multiple
choice cuma satu yang positif, ya udah jelas lah ya jawabannya.
Wawancara. Test terakhir yang
secara jelas mengatakan “ kamu gak mungkin lulus disini” . Oke.
Dan
sayapun melenggang keluar ruangan dengan santai. Puas malah, karena gak ada
ekspektasi apapun, jawab pertanyaan-pertanyaan dengan santai, (kelewat)
jujur, dan beberapa kali keceplosan pula.
The “ good” news comes when I
think that “life suck! “
Ketika kemudian seorang
teman bilang saya lulus, sempurnalah kebingungan saya. Saya harus gimana? Waktu
itu yang kepikiran cuma pulang dari kantor lebih awal, kemana gitu, ntah ngopi,
ntah minta pendapat orang-orang terdekat. Sempat kepikiran pengen nyeburin diri
dimana gitu. Sebelum pulang sempat mampir di ruangan sebelah cuma untuk bilang
, “ mira lulus.. gimana ni? “ Dan si teman melongo dan bilang, “ Jehh” .
Ketika kakak dan abang saya tau
berita ini pun, bukannya ngucapin selamat (kayak seharusnya) , malah pada
ketawa dan langsung nanya, “ jadi? “ . Dan saya pun cuma geleng-geleng kepala.
Bingung juga.
![]() |
Hayuklaah | Src : google |
Bukannya tidak bersyukur dengan
rejeki yang sama sekali tidak diduga-duga ini. Pertama, selama proses test,
tidak ada indikasi saya akan lulus dan berharap lulus. Makanya santai aja
dengan segala testnya juga. Kedua, saya gak bisa ngomong untuk share ilmu atau
informasi di depan banyak orang. Lah presentasi jaman kuliah dulu aja sampe
mohon-mohon sama dosen supaya ngasih paper aja tanpa presentasi. Makanya ajakan
ngajar setahun terakhir ini selalu saya tolak. Beban dan tanggung jawabnya
kelewat berat. Ketiga, Its just not my thing! *hiks . Dan kakak / abang saya tau itu. Seminggu sebelum pengumuman ini, seorang
sahabat di Jawa sana menawarkan posisi mengajar di salah satu kampus yan baru
buka prodi IT. Seperti biasa, dengan alasan-alasan diatas, saya tolak (lagi)
H-3 sebelum waktu pendafataran ulang ditutup
Diskusi sana sini pun terus aja
saja saya lakukan. Perlu masukan. Sebenar-benar masukan. Dan sebagian besar
komen yang sama, ambil kesempatan ini. Dari sebagian banyak alasan yang mereka
utarakan, bahkan sampe ke “mudah dapat beasiswa S3 ntar”pun gak membuat saya
berfikir untuk langsung mengiyakan. Duh...
toi..toi..toi bu mir :)
ReplyDeletedanke bi ;)
Deletewaaaah miraaaa... hebaaaat... jadinya beneran lulus ya mir, kemarinkan cerita masih tahap awal.. aseeeek, mir.. walo merasa ga berbakat, tapi ambil possitifnya saja.. mira bisa hidup dengan jadi bermanfaat bagi orang lain, yang mira bagi itu adalah ilmu, ga akan lekang zaman,, jadi sedekah.. dan In Syaa Allah berkah bisa meminimalisir hal2 yang ga sesuai hati nurani yang salam ini kita hadapi di birokrasi hehehe (jujur banget) :D
ReplyDeletechukkhaaaeee miraaaa... proud of you ^_^